Sempat Frustasi, Berniat Bunuh Diri
KARAWANG, RAKA – HY baru saja turun dari panggung setelah berbagi cerita dengan para peserta seminar memperingati hari HIV AIDS sedunia, kemarin. Di atas panggung itu, dia nampak tak berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Ia berinteraksi, bergurau, berbincang sebagaimana orang pada umumnya. Semua yang hadir di FoodNow Festivewalk sore itu tak ada yang canggung atas kehadirannya, meski mereka tahu HY adalah salah satu orang dengan HIV dan AIDS (ODHA).
HY, putra Karawang asli berkenan menceritakan kisah hidupnya semenjak mengidap HIV kepada Radar Karawang. Meski kali ini matanya sedikit berkaca-kaca, dia tetap berusaha memperlihatkan ketegaran dan semangat hidupnya. “HIV itu sendiri tidak akan menular melalui kontak sosial, masyarakat gak usah takut jika ada teman, sahabat atau saudara sendiri yang HIV positif, harusnya dirangkul, diberi motivasi supaya cepat bangkit dan semangat menjalani hidup untuk gapai cita-citanya,” ungkapnya dengan tatapan yang nampak mengawang.
HY mengetahui dirinya positif HIV pada 2016 lalu di usia 24 tahun, belum lama selepas masa kuliahnya. Ia yang saat itu belum lama bergabung sebagai pegiat (Voluntary Counselling and Testing) mengajak rekan-rekannya yang punya resiko HIV untuk melakukan pengecekan. Tak disangka, dia sendiri yang dinyatakan positif HIV. Mengetahui hal itu, dia sempat frustasi bahkan berniat untuk bunuh diri. “Ya kalut aja, saat itu mikirnya umur gak akan panjang, bakal nyusahin orang tua,” tuturnya.
Orang pertama yang mengetahui hal ini adalah sahabat baiknya, dia pula yang mula-mula mendukung dan menyemangati HY. Saat itu, dia belum berani untuk mengatakan statusnya kepada keluarga, khawatir mereka tidak bisa menerima keadaan. Namun perlahan orang-orang terdekatnya mulai mengetahui statusnya dan mulai menerima, namun itu tidak semudah membalikkan telapak tangan melainkan membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun baginya hal yang paling sulit adalah penerimaan atas keadaan dirinya sendiri. “Butuh waktu lama untuk memikirkan ini sendiri, mangatasi ini, saya harus terima ini sendiri, yang penting jangan lupa berdoa sama Tuhan,” ujarnya.
HY tidak memungkiri masih ada stigma negatif yang berkembang di masyarakat terhadap ODHA. Stigma tersebut terbentuk karena kekurangpahaman masyarakat tentang HIV AIDS. Kebanyakan mereka menghindari ODHA karena takut tertular, padahal penularan HIV tidak semudah itu. Salah satunya yang dia rasakan adalah saat ada teman HIV yang meninggal, banyak stigma buruk yang membuat mereka enggan mengurusi jenazahnya.
Diskriminasi juga terjadi pada ODHA yang masih berjuang menjalani hidupnya. Salah satunya saat mereka diketahui terjangkit HIV, perusahaan tempatnya bekerja cenderung akan memutus kontrak. Stigma negatif dan diskriminasi inilah yang membuat ODHA menutupi dan enggan terbuka mengenai statusnya. Yang lebih dia sayangkan adalah saat ada anak SD yang diketahui mengidap HIV, orang tua siswa lainnya memperlakukannya secara diskriminatif.
Ia sendiri mengaku keluarganya baru mengetahui kondisinya satu tahun yang lalu, tiga tahun pascatersematnya status ODHA pada dirinya. Memang keluarga sempat syok mendengar kabar tersebut, namun akhirnya bisa menerima setelah dia memberikan pemahaman mengenai HIV AIDS. Ia menuturkan bahkan saat ini ibunya mempunyai kebanggan tersendiri, sebab selama tiga tahun itu HY bisa bangkit sendirian, tanpa ada dukungan dari orangtua yang bahkan tidak mengetahui kondisinya.
Dia mengatakan, faktor resiko yang menjadikannya ODHA adalah hubungan homo seksual. Dan dia saat ini ikhlas dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri atas resiko dari tindakan yang pernah dilakukannya. Pria yang saat ini bekerja sebagai pendukung sebaya di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Harapan Hati RSUD Karawang. “Jangan mikirin, oh aku, aku HIV positif, dan aku bakal cepat mati. Enggak seperti itu, bisa dikendalikan HIV tuh, dan dengan pengobatan ARV (antiretroviral) bisa bertahan hidup lebih lama,” pesannya. (cr5)