
KARAWANG, RAKA — Wacana pembentukan provinsi baru kembali mencuat di tengah dinamika pembangunan nasional. Namun, pemerhati kebijakan mengingatkan agar isu ini tidak disikapi secara gegabah. Pasalnya, pemekaran wilayah meski sah secara hukum, dinilai harus melalui kajian mendalam dengan mempertimbangkan aspek efisiensi tata kelola pemerintahan dan keberlanjutan fiskal negara.
Baca Juga : Jangan Ragu Panggil Petugas Pemadam Kebakaran
Dian Suryana, Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Kebijakan (Pustaka), menegaskan bahwa moratorium pemekaran daerah yang diberlakukan pemerintah pusat sejak 2014 bukan sekadar penundaan, tetapi refleksi dari evaluasi menyeluruh terhadap dampak fiskal dan efektivitas pemerintahan pascapemekaran.
“Secara yuridis memang dimungkinkan. Tapi kita harus sadar, pemekaran bukan hanya soal batas wilayah baru, tapi juga soal beban baru. Jangan sampai niat mulia untuk pemerataan pembangunan justru berubah menjadi beban berat bagi APBN,” ujarnya saat diwawancarai, Kamis (15/5).
Dian memaparkan, banyak daerah hasil pemekaran yang belum mampu mandiri secara fiskal. Sebagian besar masih bergantung pada kucuran dana dari pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Ketergantungan ini, kata dia, justru memperbesar beban keuangan negara tanpa menghasilkan perbaikan nyata dalam pelayanan publik.
“Kalau tidak disertai dengan reformasi kelembagaan dan peningkatan kemandirian ekonomi lokal, pemekaran hanya akan menambah lapisan birokrasi, menggembungkan belanja pegawai, dan menimbulkan inefisiensi struktural,” katanya.
Tonton Juga : HASTO CURHAT, USAI JADI TERSANGKA KORUPSI
Dalam konteks efisiensi anggaran, Dian menegaskan bahwa pemekaran seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan solusi utama.
Maka, menurutnya langkah yang lebih strategis adalah memperbaiki distribusi anggaran antarwilayah, memperkuat koordinasi lintas daerah, serta mengintegrasikan program-program pembangunan secara lebih sistematis.
“Pembentukan provinsi baru harus diuji lewat kajian rasional yang berbasis data fiskal, kapasitas kelembagaan, dan proyeksi jangka panjang. Tanpa itu, kita hanya menciptakan struktur pemerintahan baru yang mahal, tapi miskin dampak positif bagi kesejahteraan rakyat,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan, semangat pemerataan pembangunan harus tetap dijaga. Namun, cara mencapainya perlu realistis dan bertanggung jawab.
“Jangan sampai demi membagi kue pembangunan, kita justru membuat dapurnya bangkrut,” pungkasnya.(uty)