KARAWANG

Program GCF Bakal Gunakan 1.600 Hektare Lahan

KARAWANG, RAKA – Bekerjasama dengan Universitas Pancasila, Pemkab Karawang akan merealisasikan Program Green Climate Fund (GCF), sebuah program yang pendanaannya tidak dari dalam negeri dan fokus kepada masalah lingkungan.
Kepala Bappeda Karawang, Dindin Rachmadhy mengungkapkan untuk program GCF yang akan dijalankan di Karawang berupa kategori jungle dan mangrove. Kategori jungle terdiri dari permasalahan sampah dan pembuatan smart farming. Selain itu akan disediakan pula air baku untuk pertanian dan pedesaan. Kemudian untuk kategori mangrove berupa abrasi dan penanganan pesisir pantai. “Tadi kita sudah zoom dengan Universitas Pancasila, mereka sudah menyiapkan dua tema pokok untuk Kabupaten Karawang. Karawang masuk ke dalam kategori jungle dan mangrove. Jungle termasuk di dalamnya itu sampah, smart farming, cara menyediakan air baku untuk pertanian dan pedesaan. Ada juga tentang mangrove seperti abrasi dan penanganan pesisir pantai,” ujarnya, Rabu (31/1)
Setelah mengadakan pertemuan, pemerintah Karawang akan menyusun proposal program dalam waktu satu Minggu. Program itu akan menggunakan lahan seluas 1.600 hektare di berbagai wilayah Karawang. Meski begitu lahan yang akan lebih banyak digunakan terdapat di wilayah pesisir pantai. “Kita diminta untuk membuat proposal, target proposal selesai dan dikumpulkan di pihak Universitas Pancasila itu di minggu awal bulan Februari. Luas lahan yang akan digunakan itu 1.600 hektare. Hari Jumat kita akan undang lagi camat yang ada di pesisir. Bagian jungle tidak terlalu riskan, tapi untuk mangrove harus kita persiapkan untuk lokasi tanah yang akan digunakan. 1.600 hektare itu untuk jungle dan mangrove, sepertinya lebih banyak di wilayah pesisir. Karena di 8 kecamatan di pantai terkait dengan abrasi sangat masif,” tambahnya.
Lahan yang dimanfaatkan tidak hanya lahan Perhutani saja, namun juga lahan milik warga dan industri. Sebelum program berjalan, pemerintah akan melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada masyarakat. Tanaman yang ditanam berupa buah-buahan dan beberapa tanaman keras lainnya. “Baik itu lahan Perhutani, masyarakat dan industri akan kita manfaatkan. Kalau di industri itu ada 30 persen untuk RTH, kalau RTH tidak bagus kita akan paksa untuk ikut program ini. Kita tidak akan langsung, tapi akan mencoba pendekatan dengan mengadakan sosialisasi. Lahan yang akan digunakan itu akan ditanam tanaman buah-buahan tidak hanya tanaman yang keras. Program ini menguntungkan juga bagi masyarakat,” imbuhnya.
Kemudian untuk permasalahan sampah aknn ditangani dengan cara mengolah sampah tersebut. Sampah organik akan dijadikan kompos dan untuk anorganik akan dijadikan sebagai RDF. Pemerintah juga akan mencari orang, komunitas atau tempat yang dapat membeli hasil dari olahan sampah tersebut. “Jungle itu akibat dari tidak adanya pepohonan. Salah satu kerusakan itu diakibatkan oleh sampah. Sampah organik akan diolah menjadi kompos, sampah anorganik akan di daur ulang menjadi RDF atau energi dan bahan baku untuk kegiatan yang lainnya. Kita perlu perdalam lagi untuk penjualan RDF ini, misalnya RDF ini menjadi listrik, bahan baku semen atau bahan baku yang lainnya,” jelasnya.
Asep Hazar, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan mengungkapkan telah melakukan komunikasi dan koordinasi terlebih dahulu sebelum adanya program GCF. Konsep yang ditawarkan berupa pendekatan menggunakn teknologi. Selain itu akan melibatkan komunitas pertanian dalam konsep itu. “Kita mendukung kegiatan yang ditawarkan oleh Universitas Pancasila maka programnya harus mempunyai dampak yang luas bagi masyarakat. Kami sudah melakukan komunikasi dengan perhutani, kelompok tani hutan untuk membangun sebuah area pertanian terintegrasi di area perhutani. Karena sumber air dan sumber daya manusia terbatas jadi kita pendekatannya menggunakan teknologi,” ungkapnya.
Meski memanfaatkan area perhutani, namun ia menegaskan fungsi hutan tidak akan hilang. Penanaman pun akan menggunakan teknis yang sudah diatur. Kemudian setelah melakukan koordinasi dengan perhutani dan kementrian, ia pun telah berkoordinasi dengan opteker yang bersedia membeli produk. “Salah satunya untuk mengefisiensikan penggunaan air di lokasi. Kita memanfaatkan area hutan di perhutani itu 160 hektar, kita juga sudah bangun komunikasi dengan kementrian untuk bibit tanaman dan alatnya. Opteker atau penerima barangnya sudah siap, kita tidak akan tanam jika belum ada yang membeli. Hutan akan tetap berfungsi sebagai hutan, tetapi kita akan atur cara menanamnya agar masyarakat sekitar bisa menerima manfaat. Misalkan di pertengahan kayu jati akan tanam jagung untuk pakan ternak, nanti bisa terkoneksi ke pabrik pakan,” tuturnya. (nad)

Related Articles

Back to top button