LGBT Belum Dilarang di Karawang
KARAWANG, RAKA – Perlahan tapi pasti keberadaan kaum pesakitan yaitu lesbi, gay, biseksual, dan transgender mulai berani eksis di muka umum. Selain banyak grup media sosial yang beranggotakan gay atau lesbi, mereka juga sudah biasa menjalankan aktivitasnya di Karawang kota.
Beragam tanggapan pun muncul dari masyarakat. Ada yang hanya sekadar prihatin dan miris, ada pula yang cuek. Sebagian lagi bahkan akan menggelar aksi unjuk rasa menekan Pemerintah Kabupaten Karawang agar segera membuat aturan yang melarang keberadaan kaum LGBT.
Front Pembela Islam (FPI) Karawang misalnya. Jumat (19/10) ini, mereka bersama Aliansi Pergerakan Masyarakat Muslim akan mendatangi kantor bupati Karawang, untuk menyuarakan aspirasinya. Tidak tanggung, menurut Ketua DPD FPI Kabupaten Karawang Ustad Dayat, tidak kurang seribu orang akan mengikuti aksi tersebut. “LGBT ini bencana mental yang harus disikapi serius pemkab, kita dorong pemerintah buat perbup pelarangannya,” katanya kepada Radar Karawang, Kamis (18/10) kemarin.
Menurut Dayat, Pemerintah Kabupaten Karawang harus menanggapi serius aspirasi masyarakat yang resah atas maraknya LGBT, baik yang mendera kalangan usia pelajar maupun tua. Bukti banyak akun di media sosial yang berisi kaum LGBT di Karawang. “Keberadaan komunitas penyuka sesama jenis ini bisa menghilangkan keberkahan di wilayah Karawang. Dan sebagai umat beragama dan mengimani Alquran, Allah menggariskan pelarangan kaum tersebut,” ujarnya.
Ia melanjutkan, membiarkan LGBT berarti mendatangkan musibah dan bencana mental. Untuk itu, dia berharap bupati bisa cepat respon dan menjamin membuat perbup agar LGBT di Karawang ditekan dan dihilangkan. “Perilaku LGBT selain bisa merusak generasi ke generasi, juga tingkahnya sudah diluar batas kelaziman manusia secara fitrah,” ujarnya.
Aksi menyuarakan larangan LGBT ini, kata Dayat, terbuka untuk muslim yang prihatin atas maraknya fenomena ini. Bahkan, FPI mendorong agar bahaya LGBT ini terus disosialisasikan dan diprogramkan ke sekolah dan pesantren oleh pemerintah. “Penanganan LGBT ini masih kurang, karena memang payung hukumnya juga masih belum optimal. Ayo kita dorong bersama,” serunya.
Sementara itu, menurut pakar hukum pidana, Suparji Ahmad, perilaku LGBT terjadi karena faktor budaya dan lingkungan, sehingga pelaku sebetulnya dapat memilih arahnya masing-masing dalam menentukan orientasi seks. Selain itu secara teologis religius, manusia diciptakan berpasang-pasangan, sehingga apabila ada orang yang mengingkari krodratnya tersebut, itu merupakan tindakan di luar hak asasi. “Boleh dikatakan bukan termasuk dari hak asasi,” ucap Suparji.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menilai fenomena LGBT belum tersentuh oleh hukum positif. Menurut Abdul belum ada hukum yang melarang kegiatab LGBT. “Belum ada hukum yang melarang kegiatan LGBT, karena itu sesuai dengan asas legalitas tindakan dan kegiatan LGBT tidak terjangkau oleh larangan hukum,” kata Abdul.
Abdul menilai fenomena LGBT harus dilihat secara kasuistis, jika yang menjadi korban paksa LGBT anak-anak atau yang berumur 18 tahun ke bawah. Jika demikian, maka bisa diberlakukan UU Perlindungan anak. “Jika akan disusun UU atau hukum baru yang bisa mengakomodir LGBT, maka harus dilihat paradigma hukum saat ini yang hanya menempatkan perbuatan zina antara laki laki dengan perempuan saja hanya delik aduan,” ungkap dia. (rud/psn/jp)